MUNCULNYA PERSPEKTIF
Perkembangan yang pesat ini rupanya memunculkan berbagai perpektif yang berkembang dan dianut oleh masyarakat. Perpestif yang berkembang tersebut adalah perspektiif pesimis dan perspektif negatif. Perspektif akses internet yang pesimis, terjadi karena ketidak merataan akses yang didapat oleh masyarakat (Lievrouw:2006). Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Howard di Amerika Serikat menyatakan bahwa saat ini masih ada ketimpangan akses yang terjadi disana. Penelitian tersebut menyatakan bahwa internet rata-rata hanya diakses oleh orang yang berkulit putih, memiliki penghasilan berlebih dan berpendidikan tinggi.
Laporan = di Amerika Serikat tahun 2000 bahkan mengatakan bahwa ketimpangan penggunaan internet juga berkaitan dengan aspek gender yakni ditemukan bahwa 81,7% penggunaan internet didominasi oleh kaum wanita. Selain itu kesenjangan itu juga terkait dengan umur, dimana orang yang berumur lebih dari 66 tahun memiliki sedikit kemungkinan untuk dapat mengakses internet (Lievrouw:2006).
Berbeda dengan perspektif pesimis mengenai akses internet yang sangat terbatas karena internet belum bisa dinikmati oleh semua orang karena faktor pendidikan, financial bahkan gender seperti yang disebutkan diatas. Perspektif Optimis lebih memandang bahwa internet sebenarnya memiliki fungsi yang sangat luar biasa. Internet sejatinya tidak terpaku oleh faktor-faktor yang menjadi pembatas tadi. Lebih dari itu, bahkan internet mampu digunakan oleh berbagai kalangan termasuk kalangan penyandang difabel.
INOVASI BAGI PARA DIFABEL
Pada tahun 1990, pemerintah Amerika Serikat berusaha untuk mengupayakan akses internet bagi semua kalangan. Hal ini pun akhirnya terwujud setelah Microsoft selaku perusahaan pembuat Sistem Operasi dan teknologi menghadirkan fitur khusus bagi para difabel terutama tunanetra dengan fitur “narrator” pada system operasi Windows bikinannya. Hal ini sudah dihadirkan Microsoft bahkan sejak system operasi yang terdahulu yakni Windows XP. Fitur ini mampu mengeluarkan suara atau mengatakan kepada penggunanya apa saja yang tampil dilayar, sehingga dengan hal ini pengguna cukup mendengarkan petunjuk yang diberikan melalui suara untuk selanjutnya memberikan perintah pada computer tanpa harus melihat layar. Pada era mobile, perusahaan teknologi lain bernama Google rupanya juga menghadirkan fitur serupa pada system operasi mobile Android dengan nama berbeda yakni “talkback”. Mekanisme yang digunakan juga serupa dengan yang dihadirkan Microsoft. Hanya saja pengguna cukup mengusapkan jari ke layar untuk mendapatkan instruksi lewat suara ini.
REVOLUSI PARA DIFABEL
Para difabel umumnya berkutat dengan huruf “braille” ketika mereka ingin mendapat informasi dari sebuah buku ajar ataupun berbagai literature. Buku ini pun mesti dicetak secara khusus sehingga mampu diraba oleh pembacanya yang tunanetra. Karenanya, buku yang mampu mereka nikmati juga terbatas sebab tidak semua penerbit menyediakan versi khusus bagi tunantera pada buku terbitannya tersebut. Hal ini menjadikan informasi dan pengetahuan yang didapat oleh tunanetra sangat terbatas dan tentunya akan berdampak dengan produktivitas mereka.
Namun dengan majunya teknologi, tunanetra pun mampu menjelajah luasnya informasi yang disajikan dalam internet dengan mudah, mereka cukup mendengarkan dan segala informasi yang tertulis di layar pun dapat mereka mengerti meskipun mereka tidak melihatnya. Rupanya, internet ini menjadi hal yang sangat disukai oleh para difabel sekarang ini. Bahkan banyak diantara mereka yang menyandang tunanetra dapat lebih produktif dengan hal ini. Sebagian mereka juga justru berkecimpung secara serius di dunia digital ini.
Di Indonesia ada seorang blogger tunanetra yang cukup sukses di dunia digital ini. Salah satunya Eko Ramaditya Adikara. Diamana tunanetra ini mampu membuat website dan mendesainnya sendiri tanpa bantuan oranglain (tanpa-batas.com). Ktrampilan ini ia dapat melalui proses pembelajaran terhadap computer yang dilakukan sejak tahun 1999. Berkat ketekunan dan ketertarikannya terhadap dunia digital, ia mampu membuat blog pribadinya pada tahun 2003. Di tahun 2008, dia bahkan didapuk sebagai tim yang menangani bagian music pada game Final Fantasy 4. Sejak saat itu dia tertarik untuk menjadi composer music.
Di tahun 2012 dia berhasil menulis sebuah buku berjudul “Blind Power” dimana ia menulisnya sendiri buku itu. Kini ia pun menjadi motivator di berbagi Negara, terutama bagi penyandang tunanetra agar dapat berkarya lebih. Bahkan kini, berbagai komunitas tunanetra-pun dapat terbentuk misalnya saja Persatuan tunanetra Indonesia. Komunitas ini sering sekali memberikan pelatihan ketrampilan menggunakan computer, bahkan tahun lalu mereka sukses memberikan pelatihan penggunaan computer bagi tunanetra di Yogyakarta (Koran-sindo.com). Hal ini membuktikan bahwa berbagai perspektif miring mengenai keternatasan bahkan ketimpangan dalam akses internet rupanya tidak selamanya benar. Terbukti dengan kreatifitas yang dilakukan banyak orang dengan media ini. Yang luar biasa adalah sebagian mereka penyandang tunanetra.
Referensi :
- Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. Chapter 4 : Perspective on Internet Use: Access, Involvement an Interaction
- tanpa-batas.com/kisah-inspiratif-eko-ramaditya-adikara-seorang-tuna-netra-yang-menjadi-arranger-untuk-musik-musik-game-yang-sukses/
- koran-sindo.com/read/921311/151/tunanetra-diajari-komputer-dan-internet-1415357764
- Wikipedia.org/braille