Media Baru dan Anak-anak
Seiring dengan mudahnya mendapatkan piranti dalam menikmati media baru, membuat semua orang berlomba untuk memilikinya. Banyak dari mereka yang digunakan untuk kebutuhan yang menunjang kegiatan pekerjaan mereka. Misalnya saja pegawai sebuah instansi yang membutuhkan gadget canggih nan berkelas untuk digunakannya mengerjakan tugas kantor secara mobile dimana saja dan kapan saja secara mudah, bahkan mereka dapat dengan mudah saling berbagi dan menyelesaikan tugas bersama dimana saja. Atau juga mahasiswa yang membutuhkan gadget sebagai sarana berkomunikasi dengan rekan satu kelompoknya untuk saling mengingatkan dalam mengerjakan tugas rumah.
Rupanya bukan hanya kalangan dewasa saja yang menggunakan piranti canggih ini, Banyak sekali orang tua yang memang sengaja memberikan piranti ini kepada anak-anak mereka. Alasan mereka pun bermacam namun rata-rata itu karena kesibukan mereka sehingga berpikir agar anak tidak kesepian dirumah maka dibelikanlah piranti itu sebagai sarana bermain.
Dan ternyata sebagian besar anak-anak pun memang menggunakan gadget tersebut untuk bersenang – senang. Terlebih kini banyak sekali situs penyedia games dan aplikasi yang dapat diunduh secara gratis sebut saja Google Play, Apptoko, uptodown dan lain sebagainya. Tidak jarang pula dengan akses internet yang diberikan satu paket dengan perangkat itu memungkinkan penyalahgunaan terhadap internet begitu besar. Belum lagi dampak secara sosial, misalnya membuat anak-anak penggila gadget ini kurang bersosialisasi secara nyata bahkan cenderung antisosial.
Media Baru, Anak-anak dan Mimpi Buruk
Sejak awal kemunculan media baru, telah banyak pihak yang mengkhawatirkan dampak dari media termutakhir ini. Dimulai dari televisi yang diluncurkan pada sekitar tahun 1950 meskipun waktu itu digadang sebagai trobosan dalam sarana pendidikan. Sangat menarik untuk mengingat televisi awalnya dipromosikan kepada orang tua sebagai media pendidikan (Melody.1973). Meskipun banyak kalangan juga meng-amini hal tersebut, namun televisi membuat anak-anak mereka menjadi kurang pergaulan (kuper). Media itu dipuji sebagai cara naturing pembangunan pendidikan anak-anak dan sekaligus mengutuk untuk membawa mereka pergi dari kegiatan yang lebih sehat (Spigel, 1922).
Kemudian diteruskan era internet yang berkembang pada era tahun 1990. Munculnya media ini dianggap membawa angin segar bagi perkembangan pengetahuan anak-anak. Bahkan seorang ahli bernaman Don Tapscott (1977) berpendapat bahwa internet adalah menciptakan “generasi elektronik” yang lebih demokratis, lebih imajinatif, lebih bertanggung jawab secara sosial dan lebih memahami daripada generasi sebelumnya.
Namun, diluar itu, media baru justru membuka pintu berbagai informasi maupun tayangan yang sangat tidak sesuai bagi seorang anak. Misalnya saja kekerasan yang dilakukan oleh anak karena media ini. Dengan demikian, media digital sering terlihat menjadi pengaruh buruk terhadap perilaku chidren dan terutama untuk menyebabkan kekerasan imitatif. Acara seperti penembakan di Columbine High School di Colorado, Amerika Serikat pada tahun 1999 sering disalahkan pada permainan komputer kekerasan atau akses anak-anak untuk ‘situs benci’ di World Wide Web (Lievrouw:2006).
Menurut Griffiths, 1996 hal ini terjadi karena Games yang disuguhkan oleh media baru tersebut sudah sangat baik sehingga tampak nyata (realistis). Sehingga hal ini lah yang memicu tindakan mereka yang mereka tiru dari sebuah video Games. Bahkan games yang kini banyak dihiasi dengan genre kekerasan macam games GTA, Gangster dsb menyebabkan anak-anak dengan mudah meniru adegan pada games tersebut pada dunia nyata. Hal ini terbukti dari maraknya kasus kejahatan perampokan yang melibatkan anak muda di Indonesia. Mendikbud, Anies Baswedan pada bulan februari lalu mengamini hal ini dari riset yang dia lakukan. Anies di Bandung, seperti dikutip Antara, Sabtu (28/2), menilai kekerasan sejumlah pembegal muda disebabkan banyak hal, salah satunya video game kekerasan di masyarakat. Gim kekerasan itu membuat mereka sulit membedakan kekerasan di dunia maya ataupun nyata (Kompas.com).
Rupanya bukan hanya mencelakakan orang lain, namun anak-anak yang menggilai permainan di gadget tanpa pengawasan orang tua juga banyak menelan korban. Salahsatunya adalah pesepak bola muda Timnas U-17 Argentina, Thomas Konecny, terjatuh dari penginapannya ketika berlibur di Paraguay. Seperti diberitakan situs SportSatu.com dimana Thomas adalah penggila permainan bola di PlayStation hingga suatu ketika ketika ia bermain permainan favoritnya kejadian naas pun menimpa. Sebab saking asyiknya bermain dan melompat kegirangan ternyata ia sudah ada di bibir jendela hingga akhirnya dia terperosok jatuh keluar dari jendela itu hingga terluka parah pada kejadian itu.
Belum lagi seorang pria asal Taiwan seperti yang dilansir situs OkeZone.com bahwa pria bernama Hsieh tewas setelah kelelahan dalam bermain Games. Kejadian itu bermula ketika bulan Januari 2015 lalu, seorang gamers bernama Hsieh itu bermain games pada sebuah warnet di Taiwan. Dan dia bermain games tersebut selama 72 jam secara non-stop. Karenanya dia pun kelelahan hingga akhirnya tewas ditempat itu juga. Hal ini membuat pemerintah Taiwan mengeluarkan aturan bahwa pemain Games di Taiwan diharuskan untuk beristirahat dua jam sekali ketika bermain games.
Peran Orangtua
Dengan berbagai kejadian yang mengerikan ini harusnya makin membuka mata kita akan bahaya besar yang menimpa generasi muda. Meskipun kita tahu bahwa media baru seperti internet dan piranti canggihnya juga memiliki begitu banyak manfaat yang dapat kita nikmati dan gunakan guna menunjang gaya hidup yang berkualitas.
Namun jangan pula dilupa bahwa dampak negatif itu juga cukup banyak. Dan sebagian besar hal itu adalah bermula dari kelalaian orang tua dalam mengarahkan dan membimbing anak-anak dalam menggunakan piranti canggih ini secara positif. Sebab kebanyakan anak menggunakan media ini untuk hiburan mereka karena jenuh dengan rutinitaas ataupun kehidupan mereka. Sudah saatnya orang tua dan juga pihak lain seperti pengajar untuk megamati hal ini lebih lanjut mengenai mengapa mereka lebih suka bermain ames dari pada membaca buku. Hal inilah yang mesti dipikirkan sehingga anak bisa tertarik dengan metode pengajaran yang diberikan guru maupun berbagai aktifitas positif yang dikehendaki orang tua.
Referensi :
- Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of NewMedia : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. ondon. Chapter 3 : CHILDREN AND NEW MEDIA
- news.okezone.com/read/2015/01/19/18/1094400/hsieh-ditemukan-tewas-karena-kelelahan-main-game
- health.kompas.com/read/2015/03/08/205922723/Begal.Motor.dan.Ketaksaan.Video.Game.
- sportsatu.com/extra-time/gara-gara-playstation-pemain-argentina-u-17-terjun-tiga-meter-638.html